Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KETUA SONAMAPPA DI PUKUL OTK

(Foto: Luka korban di bagian hidung)

JAYAPURA- Penangkapan, peneroran, pemukulan, penyiksaan terhadap aktivis pergerakan pemebebasan Papua terus di lakukan oleh Orang Tak DiKenal (OTK).

Setelah Riki Karel Yakarmilena (salah satu aktivis Sonamappa) di tangkap aparat keamanan Republik Indonesia pada Kamis lalu karena dugaan otak di balik pengibaran bendera bintang Fajar, kali ini tindakan kekerasan terjadi oleh OTK terhadap Christian Albertho Claus Pepuho, Ketua Umum Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa) 29/11/2017, dini hari.

Menurut keterangan pria yang disapa Claus ini, kejadian bermula saat dirinya sedang dalam perjalanan pulang dari Kampus Universitas Cenderawasih Abepura sekitar pukul 03.30. Korban di hentikan di Padang Bulan Ale-ale oleh 8 orang tak dikenal menggunakan mobil avanza veloz yang sudah di lepas nomor polisinya (DS). Tanpa bertanya banyak delapan orang itu langsung menghajar korban.

Beruntung beberapa kendaraan lewat di sekitar tempat kejadian sehingga korban terselamatkan dari amukan OTK ini.
Akibat kejadian itu, korban mengalami luka pada kepala, hidung, tangan.

Wakil Ketua Solidaritas Nasional Mahasiswa dan  Pemuda Papua (Sonamappa) ketika di hubungi memastikan ketuanya di pukul. Pilipus Robaha yang sering di sapa Ipu sudah ada bersama Klaus di rumahnya. Ipu membenarkan berita kalau ketuanya di pukul. Dan menurut dugaanya, kalau 8 OTK yang mengeroyok Klaus adalah orang terlatih yang membuntutinya setelah Aksi Tutup Freeport. Sebab sehari setelah aksi tersebut ada orang menggunakan mobil yang sama ketika pengeroyokan terjadi mendatangi gedung Kabesma Universitas Cenderawasih mencari Presiden Mahasiswa Uncen, Womsiwor Samuel, dan Klaus Pepuho yang ketia itu tidak ada di Kabesma. Info ini didapat dari Paskalis Boma yang juga ada di rumah Klaus. Sehingga dugaan Ipu adalah aksi teror terhadap aktivis mahasiswa menjelang 1 Desember. Apalagi Sonamappa, organisasi yang di pimpin Klaus akan melakukan aksi pada Jumat, 1 Desember 2017.

Fonataba.A.G

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

DIDUGA OTAK DIBALIK PENGIBARAN BENDERA BINTANG FAJAR, AKTIVIS SONAMAPPA DITANGKAP

(Foto: Saat Riki ikut Aksi Tutup Freeport)

JAYAPURA- Aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa), Riki Karel Yakarmilena ditangkap aparat Kepolisian Sektor Jayapura Selatan pada kamis, 23 November 2017 di rumahnya polimak 4. Riki di duga menjadi otak di balik pengibaran bendera Bintang Fajar beberapa minggu sebelumnya di Polimak.

Dari kronologis yang diterima dari Risiad Tiert, yang ditangkap bersama Riki sebagai saksi,
Pada pukul 10:15 WP. Riki dan beberapa temannya kumpul di halaman rumahnya di polimak 4. Mereka melakukan foto bersama, memegan pamflet aksi Demonstrasi Front Rakyat Papua Tutup Freeport, Pada hari Kemarin (Kamis, 23 November 2017), bertulisan: Freeport Akar Kejahatan Kemanusian di Papua, Tutup Freeport, Save Nemangkawi, Rakyat Papua Korban Kepentingan Freeport, Emas Melimpah di Nemangkawi-Tapi Kita Hanya Penjual Pinang.
Pada Pukul 12: 45 Riki dan Ino Ronald, aktivis SONAMAPPA datang dari Polimak untuk bergabung dengan massa aksi yang berkumpul di Dok IX Kali, Kelurahan Imbi-Jayapura Utara

Pada Pukul 12: 59 Dari Dok IX, Riki bersama massa di Dok IX bergerak menuju Taman Imbi untuk bergabung bersama massa aksi, Mahasiswa yang tergabung dalam Front Rakyat Tutup Freeport.

Pada Pukul 16: 35 Massa aksi membubarkan diri dari DPRP. Dari DPRP Riky pulang ke rumahnya di Polimak 4 bersama massa aksi yang pulang ke arah Abe dengan menumpangi Truk Proyek yang disediakan oleh aparat keamanan. Dari Polimak Toyota, Riki ikut dengan ojek dari pangkalan ojek Toyota ke rumahnya di Polimak 4. Sesampainya di rumah pukul 17:06 WP. Baru berselang 5 menit Riki tiba dirumahnya. Aparat Kepolisian dari Sektor Jayapura Selatan (Entrop) berjumlah 11 orang tiba dirumahnya dengan menggunakan 2 kendaraan roda empat. Satu mobil Patroli dan satu Mobil Avansa Silver. 3 aparat bersergam dinas lengkap sedangkan 8 berpakaian preman.

Setibanya aparat keamanan langsung mengepung rumah Riky Karel Yakarmilena. Dan dua orang langsung masuk lewat samping rumah menuju kamar tidurnya. Serta duanya lagi masuk melalui pintu depan. Dua polisi yang masuk lewat pintu utama dari rumah Riky langsung bertanya dimana kamar Riky kepada saudaranya, Risiad Tiert. Setelah di kasih tahu di mana posisi kamar Riky. Dua polisi tersebut langsung memanggil beberapa temannya untuk menggeleda kamar Riky. Sebelumnya Riky sudah bawah keluar dari kamarnya oleh dua polisi yang telah lebih dulu masuk menemui Riky di kamarnya. Setelah menggeleda kamar Riky dan membawa Satu kain bendera bintang fajar di kamar Riky. Riky dan saudaranya, Risiad Tiert dibawah oleh polisi dengan menggunakan mobil kijang silver ke Polsek Jayapura Selatan tanpa surat perintah penangkapan dan surat penggeledaan.

Risiad Tiert telah di pulangkan pada pagi hari ( Jumaat, 24 November 2017) sementara Riky masih ditahan di dengan alasan “ Riky Karel Yakarmilena adalah otak dibalik dua kali pengibaran bendera bintang fajar di Polimak 3”.

Hingga berita ini di turunkan, belum ada tanggapan dari pihak Kepolisian Sektor Jayapura Selatan mengenai penangkapan ini.

(Sumber Info : Risiad Tiert (Saksi yang berada di TKP dan juga turut di tangkap, tapi telah dibebaskan)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

INTERVENSI APARAT KEAMANAN DALAM KEGIATAN MAHASISWA DI MALANG


MALANG-Intervensi militer kembali di lakukan oleh pihak keamanan dalam hal ini Koramil dan Polsek Batu Malang dalam kegiatan Makrab Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (IPMAPA) Malang 2017. Kegiatan yang berlangsung seminggu ini di datangi aparat dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal untuk berusaha memantau serta mengintervensi.

Berikut kronologi  yang diterima dari Yustus, salah satu senior IPMAPA Malang, via email.

Briefing perdana bagi peserta kegiatan makrab di lakukan pada tanggal, 30 Oktober 2017, bertempat di Taman Merjosari, sekitar pukul 16.00-20.00 WIB. Kegiatan ini di hadiri oleh beberapa senioritas, ketua-ketua paguyuban dan panitia pelaksana (anggota Ipmapa 2016). Dalam kesempatan itu, Ketua Paguyuban Jayapura menyampaikan bahwa ada tawaran dari Koramil Batu bahwa ingin menyampaikan kata sambutan dalam kegiatan yang akan di laksanakan, namun panitia menyampaikan bahwa akan di konfirmasi karena harus di ketahui  dan di sepakati bersama oleh kawan-kawan Mahasiswa Papua di Malang.

Pada hari Rabu, 1 November 2017, kami kembali mengadakan briefing kedua, di laksanakan pukul 16.00-20.00 WIB, bertempat di Taman Mejosari. Dalam kesempatan ini kami menyampaikan bahwa tidak memberikan kesempatan kepada Komandan Koramil Batu dengan alasan ini adalah kegiatan kemahasiswaan dan bukan kegiatan militer sehingga tidak mengijinkan untuk penyampaian kata sambutan.

Jumat, 3 November 2017, sekitar pukul 17.35 WIB, pemilik villa menyampaikan bahwa pihak kepolisian hendak menelepon dan menanyakan surat ijin keramaian, sehingga pemilik villa menemui kami dan meminta surat ijin. Kami menyampaikan bahwa hanya melakukan aktifitas di sekitar vills dan tidak mengganggu  warga di sekitar. Pihak kepolisian tetap ngotot meminta surat ijin sehingga kami memutuskan untuk membuat surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian sektor batu. Sementara dalam mengetik surat, pemilik villa datang menemui kami untuk kesekian kalinya dan menyampaikan bahwa pihak kepolisian terus memaksa dirinya sehingga mereka meminta screen shot surat pemberitahuan lalu di kirimkan via media sosial (WhatApps).

Pada hari yang sama, pukul 19.00, kami di datangi oleh Komandan Koramil dan ajudannya. Mereka menerobos masuk dan hendak menuju aula yang saat itu sedang berlangsung seminar dengan tema pergaulan bebas, HIV dan Ancaman Terhadap OAP. Ada bebrapa pertanyaan yang di ajukan oleh Danramil kepada kami, kegiatan ini di laksanakan oleh siapa dan dari mana? Jumlah peserta ada berapa? Saya boleh berikan nasihat dan sambutan? Setelah itu Danramil menemui salah satu anggota senior IPMAPA untuk berdiskusi dan meminta agar kegiatan mahasiwa tidak boleh di intervensi militer, karena akan mengganggu psikologi peserta kegiatan.

Tindakan arogansi militer ini sangat tidak etis karena datang tanpa di undang dengan hormat. Ajudan danramil memotret aktivitas mahasiswa Papua di villa. Sempat terjadi adu mulut antara Danramil dan panitia. Danramil pun turun ke depan teras villa sementara ajudannya bertahan di aula dan terus memotret mahasiswa Papua.

Keesokan harinya, Sabtu, 4 November 2017, sekitar pukul 07.00 WIB, kami di datangi oleh pemilik villa  dan mengatakan bahwa kepolisian meminta surat pemberitahuan kegiatan. Akhirnya salah satu senior IPMAPA, Yohanes Giyai dan Ketua Panitia pelaksana Fiatus Pigai, segera mengantarkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian. Sekitar pukul 09.00 kami menemui Kasat Intelkan Kota Batu. Dalam keadaan emosional dan nada yang tinggi, bebrapa hal di tanyakan oleh pihak intelkam kota batu. Tujuan kegiatan ini apa? Berapa lama kegiatan ini akan di laksanakan? Kenapa tidak masukan surat 1 minggu sebelumnya? Berapa banyak peserta? Kamu tahu baju bendera bintang kejora yang saya amankan pada saat kegiatan sepakbola di Stadion Brantas (Liga Cenderawasih 2015)? Saya berencana mau bubarkan paksa kegiatan anda karena tidak ada ijin?

Pada hari terakhir kegiatan, Minggu, 5 November 2017, sekitar pukul 13.30, saat kegiatan telah usai dan panitia hendak bubar, kami di datangi oleh dua orang polisi menggunakan mobil polisi bak kosong warna hitam. Setelah dua menit datanglah mobil sabhara yang memuat empat polisi berpakaian dinas. Saat bergegas sekitar 50 m dari villa, kami berpapasan dengan Kapolsek dan dia minta untuk berbicara sebentar.

Dalam diskusi tersebut, Kapolsek mengatakan bahwa ada isu Komunitas Pecinta Alam yang membawakan simbol-simbol mencurigakan dan melakukan napak tilas di sekitar gunung panderman. Dalam penjelasan singkat salah satu senior IPMAPA Yohanes Giyai, tidak ada hubungan apa-apa dengan kegiatan napak tilas yang meresahkan warga serta kami juga tidak tahu simbol-simbol yang di sebutkan kapolsek. Untuk apa  Kapolsek meminta nama peserta sedetalil mungkin? Soal gambaran kegiatan IPMAPA sudah di sampaikan kemarin kepada pihak kepolisian dalam proposal. Kami disini adalah mahasiswa dan banyak mengikuti kegiatan kampus. Tidak pernah ada intervensi seperti ini. Pada jam 14.45, kami pun meninggalakn mereka dan pulang kembali ke Malang bersama kawan-kawan mahasiswa Papua lainnya.

Yustus membeberkan bahwa tindakan intervensi dan represif militer ini di lihatnya dari dua sudut pandang. “Saya melihat tindakan aparat keamanan ini dari dua sudut pandang. Pertama, aparat menunjukan watak dari Indonesia dengan menekan psikologis mahasiswa Papua guna membunuh karakter generasi muda yang sedang di bina melalui kegiatan Makrap. Kedua, aparat mencoba membangun pobia negatif masyarakat Malang dan Batu terhadap kegiatan-kegaiatan mahasiswa Papua.”tutur Yustus yang juga adalah Sekjen AMP Malang via messenger.

Yustus juga menambahkan jika pobia negatif ini sengaja di ciptakan oleh aparat keamanan. “Kami menyimpulkan bahwa Papua pobia adalah sengaja di ciptakan oleh negara untuk mengisolasi mahasiswa Papua dari lingkungan masyarakat Malang dan Batu agar tidak memiliki kesempatan untuk dapat berdiskusi di forum-forum terbuka.baik bersifat formal maupun informal.”tambah Yustus.

Sementara itu Ketua Panitia Makrab IPMAPPA yang di hubungi via WhatApps mengatakan akan memberikan tanggapan nya namun sejauh ini belum ada balasan.

Fonataba.A.Gu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

PENGUASAAN PSIKOLOGIS KOLONIAL INDONESIA ATAS ORANG PAPUA


Seringkali kita telah melihat berbagai macam penjajahan diatas dunia yang dilakukan oleh suatu bangsa kepada bangsa lain yang boleh dikata masih terjadi hingga saat ini. Dalam melakukan suatu penjajahan, jelaslah bangsa penjajah wajib memiliki pengetahuan yang lebih dari bangsa yang terjajah tetapi juga strategi-strategi ampuh untuk menaklukan bangsa tersebut. Strategi ini meliputi penguasaan psikologis.

Salah satu penjajahan diatas dunia yang terjadi dari tahun 1969 hingga kini adalah penjajahan Indonesia terhadap West Papua, salah satu wilayah yang terletak di Samudera Pasifik yang manusianya berkulit hitam dan berambut keriting. Dikatakan indonesia menjajah West Papua sebab Bangsa Papua dipaksa atau dianeksasi untuk bergabung dengan Indonesia melalui PEPERA. PEPERA yang dilaksanakan di wilayah West Papua saat itu adalah cacat hukum sebab melanggar hukum international mengenai self determination atau hak penentuan nasib sendiri.  Selain itu, Papua dan Indonesia adalah 2 wilayah yang dijajah Belanda dengan pusat pemerintahan yang berbeda, jelaslah kedua wilayah ini memiliki hak yang sama untuk mendirikan negara.

Penjajah seringkali menjalankan penguasaan psikolgis untuk mempertahankan kekuasaan mereka terhadap bangsa yang dijajah. Cara inilah yang saat ini dilakukan Indonesia terhadap rakyat Papua. Dimana indonesia menjalankan empat cara untuk menguasai psikolgis rakyat Papua yaitu politik pecah-belah, pembodohan, injeksi psikolgis, dan politik asosiasi alias kolaborasi.

Politik Pecah-Belah

Kolonial memainkan cara ini dengan menggunakan media, isu, serta propaganda untuk memecah belah rakyat Papua. Salah satu contoh adalah dengan mengangkat isu gunung-pantai. Disini kolonial Indonesia mencoba mengangkat isu ini agar terjadi konflik horizontal antara sesama rakyat Papua. Senjata untuk melawan politik ini adalah persatuan dan solidaritas. Kaum pergerakan pembebasan Papua tidak boleh lelah mempromosikan dan menjahit persatuan. Persatuan akan terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia bisa bersatu atau punya kehendak bersatu. Tak boleh lagi ada rasa egois atau mementingkan kesukuan dalam diri kita pribumi Papua.

Pembodohan

Kolonial Indonesia sengaja membiarkan rakyat Papua terbelenggu dalam ketidaktahuan dan kesadaran palsu. Ketidaktahuan adalah pintu masuk bagi kolonialis untuk memanipulasi kesadaran rakyat. Tak jarang ketidaktahuan itu menyebabkan seseorang tidak mengerti dirinya ditindas. Inilah yang melanggenggkan Kolonialisme hingga berpuluh-puluh tahun menindas rakyat Papua. Senjata untuk melawan pembodohan ini adalah pendidikan dan penyadaran. Sekolah-sekolah rakyat penting untuk didirikan, selain untuk mendidik rakyat dengan ilmu pengetahuan, sekolah-sekolah ini juga harus menyadarkan rakyat akan realitas sosialnya dan perjuangan kemerdekaan. Pendidikan politik pun harus segera diberikan kepada rakyat Papua sebagai bagian dari bentuk penyadaran. Serta pengorganisiran nelayan, buruh, petani Papua demi memupukan rasa nasionalisme Papua.

Injeksi psikologis

Injeksi psikologis berupa berupa gagasan keunggulan bangsa Indonesia serta program-program pembangunan Indonesia bagi Papua sebagai bentuk kepedulian mereka. Jelas hal ini mengganggu psikologis rakyat Papua yang belum mengetahui kelicikan dan kebusukan kolonial Indonesia. Janganlah percaya dengan kebohongan ini sebab pembangunan ataupun hal-hal baik yang dilakukan oleh kolonial Indonesia tidak berdasarkan hati nurani dan ketulusan. Senjata untuk melawan modus ini adalah membangun semangat (jiwa yang percaya pada kekuatan bangsa sendiri) dan jiwa berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) seperti yang pernah Soekarno-Hatta dkk lakukan untuk membebaskan bangsa mereka Indonesia. Seringkali kolonialis Indonesia menunjukan bahwa Bangsa Papua tidak punya kemampuan memimpin, tidak cakap mengurus rumah tangga bangsanya sendiri, bodoh. Kaum pergerakan harus memerangi penyakit rendah diri dihadapan bangsa lain terutama masyarakat akar rumput. Mengangkat kepercayaan diri yang harus di tunjukan kepada kolonial indonesia maupun bangsa-bangsa di dunia kalau West Papua mampu berdiri sendiri sebagai suatu negara merdeka.

Politik asosiasi

Politik asosiasi ini tercermin pada persekutuan antara Indonesia dan Papua yang didasarkan pada kesamaan hak dan kewajiban dimana kolonial Indonesia menganggap rakyat Papua adalah saudaranya yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan daerha lain dalam negara indonesia.. Kolonialis Indonesia memanfaatkan politik ini agara terus menghisap dan mengeksploitasi hasil kekayaan alam Papua, sedangkan rakyat Papua merindukan kemerdekaan dan keadilan sosial. Kaum pergerakan pemebebasan Papua harus menentang politik asosiasi sebab hak-hak rakyat Papua telah diperkosa, hak-hak politik tidak dihargai, hak bersuara atau berorganisasi dilarang.

Modus-modus inilah yang sering digunakan oleh kolonialis Indonesia dalam mempertahankan eksistensi mereka di Papua. Kolonial Indonesia memainkan politik-politk ini untuk menguasai psikologis rakyat Papua. Namun politik-politik ini semakin hari semakin hancur. Rakyat Papua telah sadar dan bersatu untuk menuju kepada satu tujuan mencapai kemerdekaan. Itu terlihat dari telah bersatunya tiga organ besar perjuangan pergerakan pembebasan Papua (KNPB, NFRPB, WPNCL) dalam suatu organ reprensetatif, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Perjuangan pergerakan pembebasan Papua telah tiba pada masa-masa dimana mendekati pintu-pintu kemerdekaan. Kolonial Indonesia tentu tak tinggal diam. Serangan gencar terus dilakukan untuk menguasai psikologis rakyat. Politik busuk kolonial Indonesia telah gugur secara perlahan mengingat pergerakan organisasi-organisasi pembebasan Papua yang semakin radikal baik didalam negeri maupun diluar negeri.
Persatuan adalah kekuatan kita untuk menghancurkan kekuatan lawan.
Salam Revolusi...!!! Papua Merdeka...!!!

(Tulisan ini di dambil dari tulisan Rudi Hartono-Berdikarionline, Melawan Hegemoni Kolonialis, dengan perspektif realitas di Papua)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

AKSI TOLAK WALIKOTA JAYAPURA MASUK KAMPUS UNIVERSITAS CENDERAWASIH


(Foto: Bayeam Keroman)

Jayapura, 27 Oktober 2017- Aktivis Kampus Universitas Cenderawasih kembali melakukan aksi pemalangan Kampus Univesritas Cenderawasih terkait kedatangan Walikota Jayapura Benhur Tomi Mano. Aksi spontanitas yang terjadi Pukul 08.00 WP ini sebagai bentuk penolakan kehadiran Walikota Jayapura di Fakultas Teknik, Universitas Cenderawsih dan akan membuka kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) pada hari ini, 27 Oktober 2017.

Menurut Koordinator Aksi yang di hubungi via telepon, Bayeam Keroman, aksi spontanitas menolak Walikota Jayapura karena Benhur telah melarang Mama-Mama Papua untuk tidak menjual noken bermotif Bintang Kejora.  “Kami menolak kedatangan Walikota Jayapura di Kampus karena ia telah melarang mama-mama Papua untuk tidak menjual noken bermotif Bintang Kejora yang adalah simbol kultural Bangsa Papua”.tutur bayam.

Sempat terjadi ketegangan antara Ketua BEM Fakultas Teknik dengan Koodinatior aksi. Ketegangan terjadi akibat Ketua BEM Fakultas Teknik bersikeras agar palang di buka dan membiarkan Walikota masuk untuk membuka acara Latihan Dasar Kepemimpinan di Fakultas Teknik.

Masa yang terdiri dari aktivis kampus yang peduli akan ketidakadilan di Papua ini bubar sekitar pukul 10.30 WP setelah ada kesepakatan antara pihak universitas dengan masa aksi.

Pihak universitas, melalui Pembantu Rektor III, sendiri berjanji  akan memanggil Dekan serta Pembantu Dekan di setiap fakultas untuk mengkonfirmasi setiap kegiatan kampus yang menghadirkan pemerintah.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih yang di hubungi via messenger sendiri belum ada tanggapan terkait aksi ini karena tidak bersama-sama dengan masa aksi lantaran menjaga orangtuanya yang lagi sakit.

Penulis: Guntur Fonataba (Aktivis Sonamappa)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments3

PEMBERONTAKAN TPN/PB KODAP III MIMIKA BUKANLAH KRIMINAL

 “Adalah tidak perlu menunggu hingga syarat kondisi Revolusi ada; pemberontakan dapat menciptakannya”
-Che Guevara (1960)-


Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN/PB) Kodap III Mimika, pada Sabtu, 21 Oktober 2017, melakukan aksi penembakan di Mile 67 menyebabkan dua kendaraan PT.Freeport yang di kemudikan Muhamad Jamil dan Joe Hatch berkebangsaan Amerika terkena bagian kiri. Pengejaran pun di lakukan Brimob terhadap TPN/PB. Baku tembak terjadi hingga TPN/PB melukai dua anggota brimob serta menewaskan satu anggota Brimob Den B atas nama Briptu Berry Pramana Putra. Tidak hanya itu, tujuh anggota brimob diberondong tembakan saat mengevakuasi korban, Briptu Berry. Setelah menyerang brimob TPN/PB kembali menembaki mobil rumah sakit milik Freeport, Selasa (24/10/2017) sekitar pukul 14.45. Beredar video di media sosial  berisi pernyataan resmi TPN/PB Kodap III atas aksi ini dan berisi beberapa statement dari TPN/PB Kodap III Mimika.


Ada sembilan point yang di bicakan sang orator dalam video berdurasi sekitar dua belas menit. TPN/OPM melakukan penyerangan di areal Freeport McMoran berdasarkan Surat Perintah Operasi yang di keluarkan oleh Jack Millian Kemong selaku pemimpinan. Pokok dari sembilan poin tersebut adalah kepedulian TPN/OPM Kodap III atas perampokan bangsa asing di West Papua. Pemberontakan TPN/PB mutlak demo revolusi bagi Bangsa Papua Barat.

Gentleman. Kata tepat bagi TPN/PB Kodap III Mimika. Mereka mengakui serta bertanggung jawab atas aksi ini. Aparatpun di pesan agar mencari tempat netral demi keselamatan rakyat sipil sesuai hukum-hukum yang berlaku dalam perang.

Info resmi Humas Polda Papua bahkan media-media Indonesia menyebut TPN/PB  sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) tanpa mengakui aksi baku tembak di dalangi oleh TPN/PB demi menyelamatkan Tanah Airnya dari bangsa asing. Bukanlah hal baru, beberapa aksi baku tembak oleh TPN/PB dan aparat di Papua, selalu TPN/PB di sebut KKB. Banyak pertanyaan muncul dalam benak kita, Apa itu KKB? Apakah TPN/PB melakukan yang namanya kriminal? Mengapa aparat begitu alergi menyebut TPN/PB?

Setelah saya searching di mesin pencari nomor satu dunia, google, ternyata Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terkait dengan TPN/PB di Papua.  Tak satu pun muncul KKB pada daerah lain selain Papua. Tidak jelas asal ususl pemberian nama KKB bagi TPN/PB. Aparat terlalu berfokus pada sudut pandang mereka bahwa TPN/PB sering melakukan aksi pemalakan serta intimidasi terhadap masyarakat. Ini pembohongan publik. Pada tahun 2000-an, Indonesia menyebut TPN/PB sebagai  GPS-B (Gerakan Separatis Papua-Bersenjata). Selanjutnya, tidak tahu kapan tepatnya, TPN/PB di sebut menjadi GPK-PB (Gerakan Pengacau Keamanan-Papua Bersenjata). Hingga penyebutannya berujung pada KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Pantaskah kita menyebut sesorang yang berusaha mempertahankan isi rumahnya dari permapokan dengan sebutan kriminal? Posisinya dia adalah tuan rumah. Pemilik sah rumah beserta isinya tetapi di sebut oleh perampok itu kriminal bersenjata, pengacau keamanan, dan sebutan lainya.

Dalam sejarah revolusi dunia bahkan Indonesia sendiri perang adalah jalan menuju revolusi demi terciptanya kebebasan suatu bangsa untuk berdaulat dan mengatur rumah tangganya. Bangsa Amerika harus maju berperang melawan Inggris demi United States of America (USA). Vietnam menempuh jalan peperangan demi mengusir Amerika Serikat. Fidel Castro dan Che Guevara menjalani perang gerilya demi negara sosialis Kuba. Indonesia bersusah payah dalam Agresi Militer Belanda dengan senjata seadanya demi Indonesia Merdeka. Banyak kisah revolusi lainnya di seantero di dunia menempuh peperangan demi tanah airnya. Sebuah bangsa tak mau tanah airnya di kuasai asing untuk di rampok. Perlawanan merupakan ekspresi nyata dari penindasan itu. Salahkah jika TPN/PB menempuh jalan yang sama seperti revolusi bangsa-bangsa di dunia demi terciptanya Negara Papua? Pastinya tidak. Kebenaran sejarah membuat Bangsa Papua hingga detik ini melakukan perlawanan terhadap Indonesia.

TPN/PB menunjukan pada dunia internasional serta Indonesia, untuk segera meninggalkan Tanah Air West Papua. Akar kejahatan kemanusiaan di Papua adalah Freeport. PT.Freeport McMoran telah menguras kekayaan alam di Bumi Amungsa, Timika sejak 7 April 1963. Kerakusan bangsa asing akan kekayaan alam Papua bukanlah sesuatu yang dapat di benarkan. Mencuri serta merampok tanpa ijin pemilik rumah. Ekspresi kemarahan pemilik rumah sedang di tunjukan saat ini oleh TPN/PB Kodap III Mimika. Jika berpikir dengan logika, wajar aksi TPN/PB Kodap III Mimika.

Penyebutan TPN/PB sebagai Kriminal merupakan kekeliruan. Saya sepakat dengan apa yang di katakan Arnold Belau melalui akun facebooknya. “Aparat alergi menyebut jika yang melakukan aksi penembakan adalah TPN/PB tetapi menyebutnya KKB”. Penyebutan TPN/PB di hindari sebab aparat tak mau mengakui eksistensi Tentara Pembebasan membela Tanah Airnya.

Dalam relung hati dan jiwa para gerilyawan terdapat sumpah yang menjadi martir bagi bangsanya. Bagi mereka, tentu mati dalam perlawanan melawan kolonialisme dan imperialisme lebih terhormat dari pada diam, tunduk, dan menangisi penderitaan.
TPN/PB berjalan bersama kebenaran yang hari ini dunia dan Indonesia menolaknya tetapi kebenaran itu akan memerdekakan Bangsa Papua Barat. TPN/PB peduli Tanah Air West Papua. Aksi gerilyanya demi mengusir penjajah. TPN/PB sayang akan rakyat Papua yang di berlakukan tidak adil serta di bunuh oleh militer Indonesia. Demi terciptanya Papua berdaulat serta berdiri di atas kaki sendiri tanpa campur tangan kolot asing, TPN/PB harus menempuh jalan ini.

Keep Strong, Freedom Fighters. Kalian bukanlah Kelompok Kriminal, Tetapi pejuang kebebasan, Salut untukmu, gerilyawan TPN/PB di Bukit Utikini, Tembagapura, bersama seluruh tumpah darah rakyat negeri, West Papua.
HIdup TPN/PB, Hidup ULMWP...!!!

Penulis: Guntur (Aktivis Sonamappa )

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

APRILIA OVERDOSIS SETELAH MENGKONSUMSI OBAT ANTI KAKI GAJAH

(Foto: jenazah Aprilia)

Nasib malang terjadi atas Aprilia Pardosi/Mambraku, bocah kelas 2, SD Inpres Arowi. Aprilia meninggal karena di duga overdosis obat anti filariasis yang di bagi secara gratis di sekolahnya. Bocah 7 tahun ini, di duga keracunan obat setelah melihat tanda-tanda pada tubuhnya yang mengacu pada tanda dan gejala keracunan.

Rabu, 18 Oktober 2017, pukul 10.00 WP, pembagian obat anti filariasis atau kaki gajah di Sekolah dasar Inpres Arowi 1. Arahan dari para petugas sebelum pembagian obat “obat ini dapat langsung di minum setelah di bagikan”,kata seorang petugas yang membagikan obat tersebut.

Aprilia sempat bertanya kepada petugas, “Dokter tidak apa, kalau minum obat sebelum makan? Saya ini belum makan”,tanya korban. Namun kata petugas, di kunyah saja obatnya setelah tiba di rumah makan dulu baru minum obatnya. Mendengar penjelasan seperti itu, sebelum tiba di rumah, korban langsung mengunyah salah satu jenis obat yang dibagikan. Awalnya belum muncul gelaja. Beberapa saat kemudian, korban merasa kepala sakit dan pusing. Akhirnya korban tidur sampai malam hari.
(Foto: Obat anti kaki gajah)

Saat malam hari, korban mulai muntah-muntah hingga berujung pada muntah darah. Tubuh korban sangat lemas. Pada Kami, 19 Oktober 2017, sekita pukul 08.00 WP, korban di lakrikan ke RSUD Kabupaten Manokwari.

Ibu kandung Aprilia menjelaskan penyakit yang di alami korban kepada dokter di Rumah Sakit. Tindakan pertama yang di berikan adalah dokter memberikan obat lambung. Setelah itu di ambil darah untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hasilnya ada indikasi Malaria Tropika +1. Ibu korban sempat keheranan karena sebelum mendapat dan mengkonsumsi obat anti kaki gajah, almahrumah tidak ada tanda dan gejala yang merujuk pada malaria. Aprilia sehat.
Hingga malam hari, obat lambung yang di berikan tidak memberikan efek apa-apa. Korban tidak ada perubahan. Rasa mual dan muntah tidak berhenti. Ibu korban merasa panik, lalu menanyakan kembail soal hasil pemeriksaan darah karena pikirnya ada indikasi penyakit lain. Dokter mengatakan hanya Malaria Tropika +1.

Berdasarkan informasi dari ibu korban, Aprilia mengalami muntah sebanyak 13 kali di Rumah Sakit. Muntah darah. Selain itu bibir korban bengkak serta warna hitam. Bagian belakang perut korban terlihat bengkak warna hitam. Ketika di rabah seperti batu kerasnya.

Nyawa Aprilia akhirnya tidak tertolong. Ia menghembuskan nafas terakhir pada Jumat, 20 Oktober 2017 di Rumah Sakit kira-kira pukul 09.00 WP. Aprilia di duga overdosis/keracunan obat anti kaki gajah. Kedua kakak Aprilia juga menjadi korban keracunan obat namun masih sempat tertolong.

(Foto: Kedua kakak korban yang sempat tertolong)

Bagi seluruh rakyat Papua dimanapun berada, agar mewaspadai dan mengontrol anak-anak terutama yang duduk di bangku TK dan SD.

(Sumber: Zet Steven Tata)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

SUKSMA RATRI: HIV HARUS DI AJAK BERSAHABAT

SUKSMA RATRI: HIV HARUS DI AJAK BERSAHABAT



Human Imunodeficiency Virus ( HIV ) merupakan virus yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+ di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T, sementara Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) merupakan suatu kondisi (sindrom) imunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologik terntentu akibat infeksi HIV.

Sumber penularan infeksi HIV: kontak seksual (heteroseksual,homoseksual), lewat mukosa genital; Darah: produk darah (langsung menyebar hematogen), jaringan transplantasi jarum suntik, spuit ; vertikal dari ibu ke janin/bayi lewat infeksi intrapartum, perinatal, atau air susu ibu.

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Sering pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD4+ terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gelaja klinis pada AIDS berkisar antara 5-10 tahun.

Hingga kini ARV (antiretroviral) masih di percaya sebagai pilihan terapi HIV untuk menurunkan jumlah RNA virus (viral load) hingga tidak terdeteksi, mencegah komplikasi HIV, menurunkan transmisi HIV, serta menurunkan angka mortalitas. Pada prinsipnya, terapi ARV menggunakan kombinasi tiga obat sesuai rekomendasi dan kondisi pasien, memastikan kepatuhan minum obat pasien, dan menjaga kesinambungan ketersediaan ARV.

Menurut aktivis Solidaridad Network Indonesia, Suksma Ratri, HIV harus di ajak bersahabat. “HIV itu nggak di lawan, percuma. Di ajak bersahabat aja, nggak di musuhi”. Bagaimana bersahabat dengan HIV sendiri? Perempuan yang telah mengidap HIV ini selama 11 tahun mengatakan bahwa yang penting jaga kesehatan serta kurangi stres. ”Jaga kesehatan, kurangi stres. Pola hidup sehat dan hidup di bawah perasaan bahagia. Jika sudah tiba waktunya minum obat, lakukan dengan tertib, jangan di anggap beban”.kata perempuan yang aktiv dalam organisasi yang bergerak pada bidang pemberdayaan petani via messenger.

Perempuan dengan nama facebook Ratri Srikandhi ini, hingga kini melakukan aktivitas seperti manusia sehat lainnya yang tidak terinfeksi HIV. Suksma Ratri saat kali pertama di diagnosa positif HIV tepatnya pada Mei 2006. Ratri cukup dini terdeteksinya. “Biasanya mereka yang meninggal cepat itu karena terlambat tes HIV-nya. Sementara aku terbilang cukup dini terdeteksinya,”tuturnya.

Ratri mengisahkan, dirinya memutuskan untuk segera menjalani tes bersama putirnya setelah mendapat saran dari mantan suaminya. Seperti dalam banyak kasus pengidap HIV/AIDS, dia memperoleh virus mematikan tersebut dari pasangannya. Mantan suaminya adalah pengguna narkoba suntik. Keterbukaan soal masa lalu yang kelam itu membuat Ratri percaya bahwa pria tersebut sudah berubah.

Akhir 2007 Ratri berimigrasi ke Malaysia untuk bekerja di Coordination of Action Research on Aids and Mobility (CARAM Asia), LSM regional yang juga concern terhadap masalah HAM dan kesehatan, termasuk HIV/IAIDS. Disana Ratri meng-handle para buruh migran yang juga pengidap HIV/IADS.

Berkat kiprahnya yang aktiv dalam sosialisasi HIV/IADS, Perempuan yang juga mendukung self determination bagi West Papua ini, bahkan menjadi pembicara pembuka Sidang Istimewa PBB 2008 yang membahas tema HIV/AIDS. Ia terpilih dari ratusan peserta terutama dari negara-negara Afrika sebab latar belakang nya mengidap HIV dari mantan suaminya serta kuatnya perempuan ini menjalani hidup nya seperti manusia normal lainnya.

Bagaimana dengan HIV/AIDS di Papua?

Pengalaman Ratri membawa kita pada satu pelajaran sangat berharga. HIV tidak ada obatnya adalah mitos belaka. Ratri bukti jika HIV dapat di obati dengan mengurangi replikasi virus HIV agar tidak perbanyak diri serta meminimalisir infeksi oportunistik.

Data terbaru Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, menyebutkan jumlah kasus HIV/AIDS per Juni 2017 menembus angka 28.771 kasus, di mana Kabupaten Nabire tercatat terbanyak kasus HIV/AIDS yakni 5.923 kasus. Angka ini menjadi momok menakutkan bagi semua Orang Asli Papua. Terlintas dalam benak kita, jika mereka yang terinfeksi HIV/AIDS di ambang kematian. Sangatlah keliru pemikiran ini. HIV janganlah di anggap sebagai musuh atau pun pembunuh walau telah ada di sekitar kita.

Solusi mengurangi jumlah kasus HIV/AIDS di Papua adalah di berlakukannya tes HIV wajib bagi seluruh Orang Asli Papua. Alangkah baiknya terdeteksi lebih dini positif HIV sebelum mencapai Stadium IV. Virus HIV sangat kecil ukuran nya dan tak dapat di lihat secara kasat mata serta beredar dalam darah, maka saling menyalahkan di antara kita sudah sangat terlambat. Tidak ada yang dapat melihat virus secara langsung dengan mata telanjang. Ketika HIV terdekteksi dalam tubuh seseorang, maka orang tersebut segera di lakukan konseling serta terapi ARV. Terapi ARV berguna demi mengurangi replikasi virus agar virus tidak perbanyak diri. Tentu virus di minimalisir secara perlahan walaupun tidak mati dengan terapi ARV. Langkah ini penting demi tidak menyebarnya virus ke oranglain.

Sosialisasi HIV/AIDS telah di lakuakn di berbagai tempat namun tak mengurangi jumlah kasus di Papua. Apakah kita harus memaksakan setiap orang untuk menjaga perilaku? Tak mungkin. Setiap manusia berbeda dan kelakuan manusia terbentuk ketika melihat sesuatu di depan matanya.

Pengidap HIV kadang meninggal lebih cepat akibat terlambatnya tes HIV di saat pasien telah mencapai Stadium IV. Penutupan lokalisasi serta penyisiran PSK di Papua adalah salah satu langkah strategis namun virus HIV telah menyebar di berbagai kota dan kabupaten di Tanah Papua.

Langkah strategis yang harus di perhatikan hanyalah konseling dan Tes HIV lebih dini. HIV bukan musuh, HIV bukan pembunuh, HIV ada obatnya. Belajarlah dari Ratri yang hingga kini telah hidup dengan HIV selama 11 tahun karena HIV terdeteksi lebih dini dalam tubuhnya.

(Wawancara dengan Ratri di lakukan via messenger serta diambil dari beberapa artikel yang menulis tentang Ratri)
Foto: di ambil dari akun facebook Ratri atas nama Ratri Srikandhi
Penulis: Guntur

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

PGGP HARUS TAMBAH KAYU BAKAR

Oleh: Wairi
Sunday, August 20 2017
(Dewan Gereja Pasifik)
“Papua Merdeka adalah Anugerah bagi Indonesia dan Berkat bagi Bangsa-Bangsa Di Dunia”
-Edison K. Waromi-
(Deklarator ULMWP)

17 Agustus 2017, satu surat elektronik datang dari Pacific Conference of Churches ( Konferensi Dewan Gereja Pasifik ) kepada salah satu media nasional West Papua, Tabloid Jubi. Gereja Pasifik menyampaikan keprihatinannya pada penduduk West Papua yang di anggap belum bebas karena belum bisa menentukan nasib nya sendiri. Pertemuan pemimpin gereja yang berlangsung 1-3 Agustus 2017 ini di akhiri dengan tujuh rekomendasi.

“Rekomendasi pertama menyangkut West Papua. Para pemimpin gereja sepakat mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaku pelanggaran HAM di West Papua”, kata Rev. Pihaatae, Sekjen Dewan Gereja Pasifik
Tuhan, lanjut Rev.Pihaatae, menciptakan manusia dan sebuah bangsa untuk bebas dan menentukan diri sendiri dan karena itu para pemimpin gereja selanjutnya mendukung seruan penentuan nasib sendiri West Papua.

“Tidak ada yang bebas sampai kita semua bebas,” kata Rev.Pihaatae mengikuti salah satu perkataan Martin Luther King, Jr. Konferensi Gereja Pasifik, menurut Rev.Pihaatae sangat mendukung inisiatif negara-negara Pasifik untuk membebaskan bangsa-bangsa Pasifik dari penjajahan di muka bumi ini.

Api telah di menyalakan oleh Dewan Gereja Pasifik. Agar masakan nya cepat matang, maka perlu tambahan kayu bakar. Nyala api akan meredup ketika kayu bakar terbakar hingga menjadi debu. Maksud perumpamaan ini adalah Dewan Gereja Pasifik telah menyalakan api rekomendasi “hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua”. Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP) seharusnya mengambil langkah yang selaras dengan Dewan Gereja Pasifik untuk menambah kayu bakar agar nyala api membesar. Kayu bakar yang di maksudkan adalah PGGP segera mengambil sikap terbuka untuk mengkampanyekan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua di Tanah West Papua sebagai solusi demokratik. Bukan Otonomi Khusus, pembangunan, serta gula-gula (tawaran) Jakarta lainnya.

Surat elektronik dari Sekjen Dewan Gereja Pasifik tiba tanggal 17 Agustus 2017, hari dimana Persekutuan Gereja-Gereja Papua sedang melaksanakan ibadah pujian dan penyembahan pada perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang berlangsung di Gedung Olahraga (GOR) Cenderawasih Jayapura. 16 hari sebelumnya tepatnya 1 Agustus 2017, penembakan rakyat Papua di lakukan oleh aparat keamanan Indonesia di Deiyai. 1 orang tewas serta belasan lainnya luka-luka. PGGP membisu seribu bahasa atas insiden ini. Umat Tuhan yang notabene adalah domba di biarkan oleh Sang Gembala yang adalah Para Pendeta, tewas di terkam oleh Singa. Gembala tidur, tuli, buta, entalah. Mungkin perayaan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia lebih penting ketimbang nyawa Bangsa Papua yang adalah umatnya.

Radikalisme Persekutuan Gereja-Gereja Papua ( PGGP ) dalam membela umatnya di Papua tak kelihatan. Taringnya seolah patah. Yesus Kristus adalah sang pembebas. Tokoh revolusioner sejati yang mempertahankan asas-asasnya hingga mati di palang gantungan. Yesus Kristus seorang yang radikal. Itu terlihat ketika orang berjualan di Gereja yang adalah tempat beribadah di jadikan pasar. Tanpa takut dan gentar ia memarahi serta membalikan meja-meja jualan para pedagang. Menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, buta, lumpuh, yang di penjara, orang yang di tindas dari kampung ke kampung. Umat Tuhan di West Papua di tembak mati tanpa salah, Gerejalah yang seharusnya bersuara paling utama sebab Tuhan tidak menghendaki suatu pembunuhan. Salah satu langkah radikal yang bisa di ambil PGGP adalah menyurati Presiden Indonesia, Jokowi, dan menyatakan bahwa rakyat Papua merindukan Hak Penentuan Nasib Sendiri sebagai solusi persoalan politik di Tanah Papua. PGGP harus segera tarik diri dari Persekutuan Gereja Indonesia ( PGI ), jika PGI tak mampu mengintervensi Jokowi mengenai masalah Papua. Sebab masalah Papua bukanlah masalah kesejahteraan tetapi masalah harga diri sebagai sebuah bangsa. Apakah para pendeta takut akan kehilangan jabatan dan di bunuh aparat jika bersuara tentang hak penentuan nasib sendiri? Ataukah jika mendukung hak penentuan nasib sendiri PGGP tak menadapat uang dari Republik Indonesia? Hanya Tuhan yang tahu.

PGGP bagaiakan buah simalakama. Makan mati, tidak makan mati. PGGP berbicara Papua Merdeka akan di bunuh aparat ataukah di tangkap. Berbicara Indonesia merdeka akan di tanya Tuhan di akhirat nanti. Mengapa tidak menyelamatkan jiwa yang di binasakan oleh manusia? Wajah PGGP pada sisi sebelah NKRI, sedangkan sisi sebelah Papua Merdeka. Jika di tinjau, PGGP kadang berpedoman pada ayat Firman Tuhan yang mengatakan hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati ketika di perhadapkan status politik West Papua. Tetapi Tuhan tidak mendukung penindasan dan penjajahan sehingga memerintahkan Musa dan Harun untuk membawa Bangsa Israel keluar dari penindasan Mesir. Musa dan Harun hanya melakukan negosiasi dan diplomasi dengan jalan damai kepada Raja Firaun untuk segera membebaskan bangsa mereka. Tidak melakukan cara-cara bersekutu dengan Raja Firaun. PGGP harus melihat hal ini dengan cermat. Indonesia adalah penjajah dan penindas bagi Rakyat Papua, maka PGGP harus mengambil langkah yang di lalui oleh Musa dan Harun untuk turut membebaskan umat Tuhan dari penindasan.

Seandainya aku bisa berkomunikasi dengan Tuhan, akan ku tanyakan kepada Tuhan, Apakah Engkau mendukung suatu penjajahan dan penindasan? Masakan Gereja yang Kau bentuk bersekutu dengan penjajah untuk menghabisi umat-Mu di Tanah Papua?

Tuhan akan di lematis dengan dua pilihan doa yang di panjatkan oleh para pendeta yang duduk dalam Persekutuan Gereja-Gereja Papua ( PGGP ). Ada pendeta yang memanjatkan doa untuk pemerintah Indonesia, tetapi ada pula yang berdoa untuk Kemerdekaan Papua. Langkah bijaksana yang di ambil oleh PGGP untuk turut membantu penyelesaian persoalan Bangsa Papua hanyalah “Mendukung Hak Penentuan Nasib Sendiri” demi terciptanya kehidupan umat Tuhan yang aman, tenteram serta sejahtera. Tuhan pasti setuju dengan “Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua”.

(Tulisan ini hanya mengkritisi Persekutuan Gereja-Gereja Papua secara universal , tidak untuk person )

Wa...Wa...Wa...!
Salam Tumbuna....Freedom....!


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

JANGAN PAKSAKAN SA JADI MERAH-PUTIH


JANGAN PAKSAKAN SA JADI MERAH-PUTIH

Oleh: Gunawan

Saturday, August 12 2017


Suatu ketika berjalanlah seorang pemuda di pinggiran pantai. Pemuda ini sedang mencari tuturuga (penyu) disekitaran pantai tetapi tak kunjung mendapatkan tuturuga. Bertemulah sang pemuda dengan seorang nenek. Bertanyalah nenek ini kepada pemuda itu :”Nak...apa yang kau cari dari tadi di sekitaran pantai ini?” Jawab pemuda itu dengan penuh harapan si nenek akan membantunya mendapatkan tuturuga: “Aku sedang mencari tuturuga nenek. Sejak tadi aku telah menelusuri seputar pantai tetapi tidak menemukan tuturuga.” Maka dengan percaya diri nenek tersebut berkata kepada anak muda itu: “Tidak sadarkah kau, anak muda, saat ini kau sedang berdiri diatas tubuh tuturuga tersebut. Mengapa engkau tak menyadari hal itu sejak tadi?

Cerita pendek di atas menggambarkan si anak muda yang tidak percaya diri. Tidak percaya diri serta kurang nya kesadaran akan sesuatu yang ia cari. Anak muda ini telah berdiri di tubuh tuturuga tetapi malah ia mencari-cari sekitar pantai. Ketidakpercaan diri menyebabkan anak muda tak tahu apa yang ia injak.

Banyak orang asli Papua hari ini, belum memiliki kepercayaan diri atas apa yang ia injak. Tanah, kekayaan alam, hutan yang luas tak cukup membangkitkan kepercayaan diri akan milik kita. Ketika kepercayaan diri tak ada lagi, maka saat itulah orang kulit putih masuk dengan berbagai macam penawaran yang membuat kita terhegemoni sehingga tak sadar akan apa yang di miliki. Tergiur dengan berbagai macam penawaran white man. White man berhasil masuk dalam sendi-sendi kehidupan orang asli Papua, praktek kolonialisme pun terjadi diatas Tanah Papua Barat hingga saat ini. Penindasan, penembakan, penculikan, pembunuhan orang asli Papua. Seakan binatang buruan, nyawa orang asli Papua tak ada arti apa-apa di mata orang kulit putih terkhususnya aparat keamanan bangsa indonesia.

Pasca Belanda angkat kaki dari atas Tanah Papua setelah penyerahan administrasi dari UNTEA kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, Bangsa Indonesia mulai masuk dalam kehidupan orang Papua Barat. Sebuah bangsa yang pada akhirnya orang asli Papua kenal lebih kejam dari Belanda. Terjadilah pemberontakan Arfai, Manokwari, 28 Juli 1965 yang di pimpin Permenas Awom. Pemberontakan ini di latarbelakangi oleh terciumnya kejamnya Indonesia melebihi Belanda. Telah tercium Bangsa Indonesia akan menguasai Papua Barat dan seluruh kekayaan alamnya. Banyak perjanjian yang di buat oleh Soekarno demi Papua, namun semuanya itu hanyalah omongan bualan. Bangsa Papua Barat tak pernah merasakan kebahagiaan hidup bersama Indonesia.

Papua di aneksasi menjadi bagian sah dari Republik Indonesia melalui PEPERA. Menurut saksi PEPERA, peserta PEPERA di karantina serta di intimidasi agar memilih bergabung dengan Indonesia. Proses Self Determination tidak di laksanakan sesuai praktek internasional dimana ‘one man one vote’. PEPERA dilaksanakan secara tertutup, rahasia, dan melalui perwakilan yang di tunjuk langsung oleh militer Indonesia. Untuk memenangkan PEPERA, maka pihak pemerintah Indonesia mulai memainkan peranan militer sehingga para wakil Bangsa Papua yang akan duduk dalam Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dapat menolak Administrasi Negara Papua Barat di pegang oleh Bangsa Papua sendiri ataupun Belanda tetapi menerima Administrasi di kontrol oleh Bangsa Indonesia. Peserta DMP di tampung di suatu penampungan khusus di seluruh Komando Resort Militer (KOREM) di Papua untuk di beri nasihat, teror, intimidasi, rayuan, bahkan pembunuhan. Selain itu, KOSTRAD pun ikut mengambil bagian dalam persiapan PEPERA.

Pemerintah Indonesia hanya melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian di putuskan membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1.026 anggota dari delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita. Para anggota DMP di tunjuk langsung oleh Indonesia ( tidak melalui pemilihan umum di tiap-tiap kabupaten ) dan di bawah intimidasi serta ancaman pembunuhan oleh pimpinan OPSUS ( Badan Inteligen KOSTRAD ) Ali Murtopo.


Sedihnya lagi, para anggota DMP itu ditampung disuatu tempat khusus dan dijaga ketat oleh militer sehingga mereka (anggota DMP) tidak bisa berkomunikasi atau dipengaruhi oleh keluarga mereka. Setiap hari mereka hanya diberi makan nasihat supaya harus memilih bergabung dengan Indonesia agar nyawa mereka bisa selamat.

Akhirnya dengan rasa sedih yang dalam terpaksa para anggota DMP itu harus memilih bergabung dengan NKRI di depan utusan PBB, Fernando Ortisan. Walaupun ada terjadi sedikit gerakan protes oleh rakyat Papua di luar gedung PEPERA tetapi disapuh bersih oleh militer Indonesia dengan senjata dan meriam, diculik, dibunuh, disiksa, dan dihina-hina bahwa orang Papua bodoh. Para wartawan pada saat itu pun kemungkinan dilarang oleh militer Indonesia untuk meliput proses penentuan pendapat rakyat yang penuh kecurangan dan kebohongan. Sayangnya, mengapa tak ada pasukan PBB yang mengawasi tetapi justru diawasi oleh tentara Indonesia yang jumlahnya melebihi utusan PBB.

Sejak bergabung dengan Indonesia, di paksakan orang asli Papua harus benar-benar menjadi Indonesia. Indonesianisasi Papua terjadi dengan cara paksaan bukan lahir dari hati. Menjelang 17 Agustus 2017 di keluarkan surat edaran oleh Walikota Jayapura melalui camat, lurah,  RT/RW agar setiap toko, rumah, serta gang gapura setiap lingkungan memasang bendera merah-putih. Jika tidak, akan di kenakan sanksi.

Membaca surat edaran tersebut, siapapun pasti merasa konyol dengan tindakan yang di lakukan oleh Walikota Jayapura serta jajarannya. Entah pak walikota pernah meluangkan waktu sejenak demi membaca dan merenungkan tentang sejarah Papua yang dimanipulasi oleh Republik Indonesia? Atau malah Pak Walikota Jayapura buta sama sekali terhadap sejarah peradaban Bangsa Papua Barat?

Dalam sidang PPKI, 15 Agustus 1945, Soekarno beripidato dan menyatakan bahwa “Yang disebut Indonesia adalah pulau-pulau Sunda Besar (Jawa,Sumatra,Borneo,dan Celebes), pulau-pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, NTB, dan NTT serta Maluku. Tetapi untuk keamanan Indonesia dari arah pasifik, maka kita perlu menguasai Papua.”.

Belanda bersikeras tidak melepaskan Papua menjadi bagian Indonesia. Oleh sebab itu jika klaim Soekarno, Papua bagian integral dari Hindia-Belanda gugur. Saat Belanda mendirikan tugu Fort Du Bus di Teluk Triton, Kaimana, wilayah Papua atau Netherlands New Guinea resmi menjadi sebuah provinsi yang beribukota di Hollandia (sekarang Jayapura) di bawah kontrol Kerajaan Belanda. Netherlands Indische (sekarang Indonesia) beribukota di Batavia (Jakarta). Otomatis tidak ada lagi klaim Indonesia atas Papua sebab Papua bukan lagi bagian integral dari Hindia-Belanda tetapi menjadi provinsi tersendiri.

Soekarno seperti kita ketahui adalah Marxist. Keinginan utamanya untuk merebut Irian Barat (sekarang Papua) adalah membebaskan Papua dari pengaruh imperialisme barat. Tercium Belanda adalah sekutunya Amerika Serikat. Hanya Soekarno salah jalan sehingga pencaplokan Papua bersifat pemaksaan bukan karena keinginan hati orang asli Papua bergabung dalam bingkai NKRI. Papua telah di persiapkan Pemerintah Belanda untuk berdiri sendiri menjadi sebuah negara merdeka pada tahun 1970. 1 Desember 1961, Pemerintah Belanda mendeklarasikan bendera, lambang, lagu, semboyan negara Papua.

Papua adalah luka membusuk yang siap menghancurkan tubuh Indonesia. Terima atau tidak terima, suka atau tidak suka, luka ini telah menyebarkan bau busuknya di panggung internasional.  Segala obat penawar (otsus, pembangunan) telah di suntikan demi kesembuhan luka ini, tetapi sungguh mirisnya luka ini tak kunjung sembuh bahkan mungkin menjadi luka pusaka.

Umbul-umbul, spanduk, baliho berbau merah putih menjelang perayaan 17 agustus adalah salah satu obat penawar yang namanya ‘NKRI harga mati’ demi kesembuhan luka pusaka itu. Sayang beribu sayang, luka pusaka itu hanya dapat di sembuhkan oleh obat penawar yang namanya ‘Self-Determination’. Indonesianiasi Papua dalam minggu-minggu menjelang tanggal 17 agustus, Aparatur Sipil Negara, TNI/POLRI, bahkan anak sekolahan di sibukan dengan kegiatan-kegiatan berupa perlombaan gerak jalan, karnaval, hingga mengecat kantor dan sekolah. Anak asli Papua yang aktif dalam kegiatan tujuh belasan seakan lupa diri layaknya pak walikota Jayapura. Terhasut akan gula-gula Jakarta (otsus, pembangunan, jabatan).

Hampir sepanjang jalan Kota Jayapura, bendera merah-putih di pasang. Tahun-tahun sebelumnya hal ini jarang terjadi. Mungkinkah tahun 2017, pemerintah Indonesia sangat gemetar akan pencapaian United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dimana tercatat seratus lebih negara telah mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi Papua?

Dalam sebuah negara merdeka, menjelang hari kemerdekaan nya, terlihat adanya kesadaran rakyat untuk mengangkat atau menaikan bendera negaranya. Himbauan mungkin di lakukan oleh presiden dan gubernur wilayah-wilayah. Yang terjadi di Kota Jayapura, rakyat di paksa untuk mengibarkan bendera merah-putih. Jika tidak, ada yang di kenakan sanksi. Mungkinkah sanksi-sanski ini terjadi juga di daerah Indonesia lainnya? Ini bukti Papua di aneksasi dan di paksa bergabung dengan Republik Indonesia.

Rakyat Papua yang telah mengetahui kebenaran sejarah Papua, janganlah terhasut dan termakan oleh propaganda NKRI melalui kegiatan-kegiatan menjelang 17 agustus. Jika kita terlibat, maka ini akan menjadi kampanye hitam NKRI di dunia internasional bahwa kedaulatan mereka masih kuat di atas Tanah Papua.

“kami bukan merah putih, kami bukan merah putih”

“kami bintang kejora, bintang kejora”

“baru-baru ko bilang merah putih”

“kami bukan indonesia, kami bukan indonesia”

“kami bangsa papua, bangsa papua”

“baru-baru ko bilang indonesia”

Seharusnya pemerintah Indonesia  segera sadar akan kesalahan masa lalu Soekarno dan rekan seperjuangannya dulu yang merampas Papua. Belajarlah dari kawan-kawan Front Rakyat Indonesia-West Papua ( FRI-West Papua ) yang tak ingin melihat Bangsa Papua di jajah. Sehingga mendukung penuh pembebasan Papua dari belenggu penjajahan Indonesia.

Jangan pernah bermimpi untuk mengindonesiakan Papua. Sudah sejak dalam pikiranmu, kau penuh paksaan. Hati mu dan hati ku tak memiliki kecocokan sejak awal mula bertemu. Kita tak boleh memaksakan untuk melanjutkan kisah cinta ini. Indonesianisasi Papua itu kesalahan dan bukan jalan keluar.

Sa Melanesia, Sa hitam, Sa rambut keriting. Jangan Paksakan Sa untuk jadi Ko.

Salam Tumbuna...Freedom...!



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

PEMBUNUHAN MISTERIUS: PEMICU KONFLIK DI PAPUA



PEMBUNUHAN MISTERIUS: PEMICU KONFLIK DI PAPUA

Senin, 22 Mei 2017
Oleh : Ananta Goenawan


Akhir-akhir ini rakyat Papua khususnya Kota Jayapura di gegerkan dengan kasus kekerasan yang berujung pada pembunuhan serta penemuan mayat. 11 Mei 2017, seorang Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih bernama Dr.Suwandi, di hadang dua orang tak dikenal saat hendak pulang ke rumahnya di jalan buper waena. Pelaku menyerang korban dengan parang hingga tewas. Sabtu 13 Mei 2017, seorang wanita bernama Fitri Diana tewas setelah dihadang tiga orang tak dikenal di dekat Kampung Netar Distrik Sentani Timur. Rangkaian aksi pembunuhan misterius ini berlanjut hingga Jumat 19 Mei 2017 setelah ditemukannya mayat seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai penjual tahu tek di depan RS.Dian Harapan pada pukul 05.15 pagi WIT. Jenazah perempuan berusia 45 tahun ini ditemukan dalam parit tepat di depan PLTD Waena.

 Anehnya Jumat sore tepatnya di depan depot pemotongan kayu (sawmill), masyarakat di kagetkan oleh penyisiran yang dilakukan oleh Polresta Jayapura. Warga menduga penangkapan dan penyisiran di depan sawmil berkaitan dengan jenazah perempuan yang ditemukan di dalam parit PLTD Waena. Namun pihak kepolisian membantah dugaan tersebut dan masih mendalami dan mengidentifikasi beberapa orang yang ditangkap Siapa sebenarnya aktor pembunuhan misterius ini? Hingga kini belum jelas siapa pelaku pembunuhan berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi. Terdapat beberapa kejanggalan dalam kasus pembunuhan misterius ini yang dapat mengarahkan kita kepada kecurigaan pembunuhan ini adalah setingan beberapa oknum ataupu elit politik demi kepentingan mereka diatas Tanah Papua Barat.
Pertama, korban secara mengejutkan berturut-turut diawali oleh masyarakat non-Papua. Terlihat dengan jelas penyetingan menuju kepada konflik antara rakyat Papua dan rakyat non-Papua demi menghancurkan aspirasi Papua Merdeka.

Kedua, pada Jumat sore 19 Mei 2017 aparat menembak seorang warga asal Yahukimo bernama Maikel hingga tewas. Sampai saat ini belum jelasnya kasus apa yang menimpa Maikel. Tanpa bukti-bukti yang valid serta saksi-saksi, aparat menggrebek dan menembak Maikel hingga tewas. Asas praduga tak bersalah tidak dijunjung lagi oleh penegak hukum. Setelah Maikel ditembak, tersebar foto Maikel di media sosial bahwa inilah pelaku pembunuhan seorang perempuan yang ditemukan dalam parit PLTD waena. Masyarakat akar rumput yang belum memahami skenario ini seolah di giring ke arah pemvonisan masyarakat pegunungan tengah sebagai pelaku. Dan konflik kecil pun mulai terlihat.

Ketiga, konflik yang di inginkan oleh sang aktor pembunuhan misterius ini pun mulai kelihatan. Dua Orang Asli Papua ditikam oleh masyarakat Ambon hingga tewas. Aparat yang saat itu berada di lokasi kejadian melakukan pembiaran. Serta teriakan “masyarakat wamena” pun keluar dari masyarakat Ambon. Seolah-olah dua orang inilah yang menjadi pelaku pembunuhan perempuan yang ditemukan dalam parit PLTD.

Ketika terjadi demonstrasi Papua Merdeka, aparat turun dengan kekuatan penuh untuk menjaga bahkan senjata tajam pun dilarang untuk diambil dalam aksi. Masyarakat Ambon yang menggunakan senjata tajam untuk melukai dua orang asli papua diabaikan oleh aparat keamanan. Jelaslah misi terbesar Indonesia atas Papua: “Habisi Rakyat Papua dan Kuasai Tanah Mereka serta Kekayaan Alam Mereka.”

Dari seluruh pembunuhan misterius ini dapatlah kita menarik satu benang merah “konflik”. Masih ingatkah kita pada kasus tragedi Ambon 1999? Tragedi itu secara sistematis dipicu dan dipelihara oleh sejumlah tokoh politik dan militer di Jakarta, untuk melindungi kepentingan mereka. Pola adu domba yang memicu konflik inilah yang sering dilakukan oleh kelompok-kelompok militer. Di Afrika juga terjadi perang saudara yang di provokasi oleh kapitalisme bangsa kulit putih yang ingin menguasai kekayaan mereka. Aktor yang merencanakan ini semua hanya duduk diam dan menertawai konflik tersebut. Siapakah yang menang? Tidak ada kan. Satu agama tidak langsung dimenangkan. Itu semua hanya karena terprovokasi. Bagaimana dengan Papua? Papua saat ini pun sedang di giring oleh kelompok elit Jakarta menuju ke arah konflik entah antar non-papua dan Papua ataukah Papua dan Papua maupun Konflik SARA. Rakyat Papua dituntut untuk tidak mudah terprovokasi dan harus cerdas dalam melihat isu serta sadar akan segala sesuatu yang dilakukan oleh Kolonial Indonesia diatas Tanah Papua.

Kolonial Indonesia saat ini sedang melakukan poltik Devide et Impera atau politik adu domba yang pernah Belanda lakukan di Nusantara. Kolonial Indonesia mencoba mengadu dombakan sesama Papua dengan menciptakan kasus pembunuhan misterius dan menggiring opini publik menuju kepada pelaku yang tak lain adalah masyarakat Pegunungan Tengah. Ketika publik telah tergiring munculah kebencian antara kita. Jika kebencian itu sudah mencapai batas ambang maka pecalah konflik. Ketika konflik pecah antara sesama Papua, maka aspirasi Papua Merdeka akan dengan mudah runtuh. Disinilah titik pusat dan tujuan utama dari semua setingan kolonial Indonesia agar mereka tetap berdiri kokoh diatas Tanah Leluhur kita.

Pengalihan isu pun terjadi disaat mencuatnya kasus pembunuhan misterius ini. Indonesia seolah-olah ingin menunjukan kepada dunia Internasional bahwa yang melakukan pembunuhan di Papua pada akhir-akhir ini adalah mereka orang asli papua sendiri. Demi menyelamatkan wajah mereka di Dewan HAM PBB.

Marthen Manggaprouw, Sekjen West Papua National Autorhity (WPNA) menulis di akun facebook miliknya : “Kita tetap fokus pada Papua Merdeka karena itu solusi. Balas membalas dalam bingkai NKRI tidak akan mendapatkan keadilan sekalipun. Ini negara hukum, mereka yang membawa senjata tajam dan palang jalan raya sebagai fasilitas umum di sekitar RS.Dian Harapan justru mendapat dukungan dari aparat kepolisian, bahkan di depan mata mereka 2 orang Papua dibunuh, tapi mereka biarkan. Sedangkan warga Papua yang tidak membunuh oranglain justru ditembak mati tanpa ampun.”

Rakyat Papua tetaplah tenang dan jaga diri baik-baik serta hindarilah perdebatan yang berujung pada konflik antara kita yang arahnya nanti kepada perang saudara seperti di Afrika.  Hentikan saling tuduh-menuduh dan fitnah di antara kita. Jangan terprovokasi oleh siapapun yang ingin memupuk rasa kebencian yang akan berujung pada konflik. Jaga persatuan kita dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Usir Indonesia sekarang juga sebab yang kolonial itu selalu iblis. Indonesia lah yang selalu membuat ulah diatas tanah Papua demi menghabisi nyawa rakyat Papua dan menguasai penuh kekayaan alam Bangsa Papua. 

Salam Revolusi...!!!
Wa...Wa...Wa...!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0