Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

AKSI TOLAK WALIKOTA JAYAPURA MASUK KAMPUS UNIVERSITAS CENDERAWASIH


(Foto: Bayeam Keroman)

Jayapura, 27 Oktober 2017- Aktivis Kampus Universitas Cenderawasih kembali melakukan aksi pemalangan Kampus Univesritas Cenderawasih terkait kedatangan Walikota Jayapura Benhur Tomi Mano. Aksi spontanitas yang terjadi Pukul 08.00 WP ini sebagai bentuk penolakan kehadiran Walikota Jayapura di Fakultas Teknik, Universitas Cenderawsih dan akan membuka kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) pada hari ini, 27 Oktober 2017.

Menurut Koordinator Aksi yang di hubungi via telepon, Bayeam Keroman, aksi spontanitas menolak Walikota Jayapura karena Benhur telah melarang Mama-Mama Papua untuk tidak menjual noken bermotif Bintang Kejora.  “Kami menolak kedatangan Walikota Jayapura di Kampus karena ia telah melarang mama-mama Papua untuk tidak menjual noken bermotif Bintang Kejora yang adalah simbol kultural Bangsa Papua”.tutur bayam.

Sempat terjadi ketegangan antara Ketua BEM Fakultas Teknik dengan Koodinatior aksi. Ketegangan terjadi akibat Ketua BEM Fakultas Teknik bersikeras agar palang di buka dan membiarkan Walikota masuk untuk membuka acara Latihan Dasar Kepemimpinan di Fakultas Teknik.

Masa yang terdiri dari aktivis kampus yang peduli akan ketidakadilan di Papua ini bubar sekitar pukul 10.30 WP setelah ada kesepakatan antara pihak universitas dengan masa aksi.

Pihak universitas, melalui Pembantu Rektor III, sendiri berjanji  akan memanggil Dekan serta Pembantu Dekan di setiap fakultas untuk mengkonfirmasi setiap kegiatan kampus yang menghadirkan pemerintah.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih yang di hubungi via messenger sendiri belum ada tanggapan terkait aksi ini karena tidak bersama-sama dengan masa aksi lantaran menjaga orangtuanya yang lagi sakit.

Penulis: Guntur Fonataba (Aktivis Sonamappa)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments3

PEMBERONTAKAN TPN/PB KODAP III MIMIKA BUKANLAH KRIMINAL

 “Adalah tidak perlu menunggu hingga syarat kondisi Revolusi ada; pemberontakan dapat menciptakannya”
-Che Guevara (1960)-


Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN/PB) Kodap III Mimika, pada Sabtu, 21 Oktober 2017, melakukan aksi penembakan di Mile 67 menyebabkan dua kendaraan PT.Freeport yang di kemudikan Muhamad Jamil dan Joe Hatch berkebangsaan Amerika terkena bagian kiri. Pengejaran pun di lakukan Brimob terhadap TPN/PB. Baku tembak terjadi hingga TPN/PB melukai dua anggota brimob serta menewaskan satu anggota Brimob Den B atas nama Briptu Berry Pramana Putra. Tidak hanya itu, tujuh anggota brimob diberondong tembakan saat mengevakuasi korban, Briptu Berry. Setelah menyerang brimob TPN/PB kembali menembaki mobil rumah sakit milik Freeport, Selasa (24/10/2017) sekitar pukul 14.45. Beredar video di media sosial  berisi pernyataan resmi TPN/PB Kodap III atas aksi ini dan berisi beberapa statement dari TPN/PB Kodap III Mimika.


Ada sembilan point yang di bicakan sang orator dalam video berdurasi sekitar dua belas menit. TPN/OPM melakukan penyerangan di areal Freeport McMoran berdasarkan Surat Perintah Operasi yang di keluarkan oleh Jack Millian Kemong selaku pemimpinan. Pokok dari sembilan poin tersebut adalah kepedulian TPN/OPM Kodap III atas perampokan bangsa asing di West Papua. Pemberontakan TPN/PB mutlak demo revolusi bagi Bangsa Papua Barat.

Gentleman. Kata tepat bagi TPN/PB Kodap III Mimika. Mereka mengakui serta bertanggung jawab atas aksi ini. Aparatpun di pesan agar mencari tempat netral demi keselamatan rakyat sipil sesuai hukum-hukum yang berlaku dalam perang.

Info resmi Humas Polda Papua bahkan media-media Indonesia menyebut TPN/PB  sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) tanpa mengakui aksi baku tembak di dalangi oleh TPN/PB demi menyelamatkan Tanah Airnya dari bangsa asing. Bukanlah hal baru, beberapa aksi baku tembak oleh TPN/PB dan aparat di Papua, selalu TPN/PB di sebut KKB. Banyak pertanyaan muncul dalam benak kita, Apa itu KKB? Apakah TPN/PB melakukan yang namanya kriminal? Mengapa aparat begitu alergi menyebut TPN/PB?

Setelah saya searching di mesin pencari nomor satu dunia, google, ternyata Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terkait dengan TPN/PB di Papua.  Tak satu pun muncul KKB pada daerah lain selain Papua. Tidak jelas asal ususl pemberian nama KKB bagi TPN/PB. Aparat terlalu berfokus pada sudut pandang mereka bahwa TPN/PB sering melakukan aksi pemalakan serta intimidasi terhadap masyarakat. Ini pembohongan publik. Pada tahun 2000-an, Indonesia menyebut TPN/PB sebagai  GPS-B (Gerakan Separatis Papua-Bersenjata). Selanjutnya, tidak tahu kapan tepatnya, TPN/PB di sebut menjadi GPK-PB (Gerakan Pengacau Keamanan-Papua Bersenjata). Hingga penyebutannya berujung pada KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Pantaskah kita menyebut sesorang yang berusaha mempertahankan isi rumahnya dari permapokan dengan sebutan kriminal? Posisinya dia adalah tuan rumah. Pemilik sah rumah beserta isinya tetapi di sebut oleh perampok itu kriminal bersenjata, pengacau keamanan, dan sebutan lainya.

Dalam sejarah revolusi dunia bahkan Indonesia sendiri perang adalah jalan menuju revolusi demi terciptanya kebebasan suatu bangsa untuk berdaulat dan mengatur rumah tangganya. Bangsa Amerika harus maju berperang melawan Inggris demi United States of America (USA). Vietnam menempuh jalan peperangan demi mengusir Amerika Serikat. Fidel Castro dan Che Guevara menjalani perang gerilya demi negara sosialis Kuba. Indonesia bersusah payah dalam Agresi Militer Belanda dengan senjata seadanya demi Indonesia Merdeka. Banyak kisah revolusi lainnya di seantero di dunia menempuh peperangan demi tanah airnya. Sebuah bangsa tak mau tanah airnya di kuasai asing untuk di rampok. Perlawanan merupakan ekspresi nyata dari penindasan itu. Salahkah jika TPN/PB menempuh jalan yang sama seperti revolusi bangsa-bangsa di dunia demi terciptanya Negara Papua? Pastinya tidak. Kebenaran sejarah membuat Bangsa Papua hingga detik ini melakukan perlawanan terhadap Indonesia.

TPN/PB menunjukan pada dunia internasional serta Indonesia, untuk segera meninggalkan Tanah Air West Papua. Akar kejahatan kemanusiaan di Papua adalah Freeport. PT.Freeport McMoran telah menguras kekayaan alam di Bumi Amungsa, Timika sejak 7 April 1963. Kerakusan bangsa asing akan kekayaan alam Papua bukanlah sesuatu yang dapat di benarkan. Mencuri serta merampok tanpa ijin pemilik rumah. Ekspresi kemarahan pemilik rumah sedang di tunjukan saat ini oleh TPN/PB Kodap III Mimika. Jika berpikir dengan logika, wajar aksi TPN/PB Kodap III Mimika.

Penyebutan TPN/PB sebagai Kriminal merupakan kekeliruan. Saya sepakat dengan apa yang di katakan Arnold Belau melalui akun facebooknya. “Aparat alergi menyebut jika yang melakukan aksi penembakan adalah TPN/PB tetapi menyebutnya KKB”. Penyebutan TPN/PB di hindari sebab aparat tak mau mengakui eksistensi Tentara Pembebasan membela Tanah Airnya.

Dalam relung hati dan jiwa para gerilyawan terdapat sumpah yang menjadi martir bagi bangsanya. Bagi mereka, tentu mati dalam perlawanan melawan kolonialisme dan imperialisme lebih terhormat dari pada diam, tunduk, dan menangisi penderitaan.
TPN/PB berjalan bersama kebenaran yang hari ini dunia dan Indonesia menolaknya tetapi kebenaran itu akan memerdekakan Bangsa Papua Barat. TPN/PB peduli Tanah Air West Papua. Aksi gerilyanya demi mengusir penjajah. TPN/PB sayang akan rakyat Papua yang di berlakukan tidak adil serta di bunuh oleh militer Indonesia. Demi terciptanya Papua berdaulat serta berdiri di atas kaki sendiri tanpa campur tangan kolot asing, TPN/PB harus menempuh jalan ini.

Keep Strong, Freedom Fighters. Kalian bukanlah Kelompok Kriminal, Tetapi pejuang kebebasan, Salut untukmu, gerilyawan TPN/PB di Bukit Utikini, Tembagapura, bersama seluruh tumpah darah rakyat negeri, West Papua.
HIdup TPN/PB, Hidup ULMWP...!!!

Penulis: Guntur (Aktivis Sonamappa )

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

APRILIA OVERDOSIS SETELAH MENGKONSUMSI OBAT ANTI KAKI GAJAH

(Foto: jenazah Aprilia)

Nasib malang terjadi atas Aprilia Pardosi/Mambraku, bocah kelas 2, SD Inpres Arowi. Aprilia meninggal karena di duga overdosis obat anti filariasis yang di bagi secara gratis di sekolahnya. Bocah 7 tahun ini, di duga keracunan obat setelah melihat tanda-tanda pada tubuhnya yang mengacu pada tanda dan gejala keracunan.

Rabu, 18 Oktober 2017, pukul 10.00 WP, pembagian obat anti filariasis atau kaki gajah di Sekolah dasar Inpres Arowi 1. Arahan dari para petugas sebelum pembagian obat “obat ini dapat langsung di minum setelah di bagikan”,kata seorang petugas yang membagikan obat tersebut.

Aprilia sempat bertanya kepada petugas, “Dokter tidak apa, kalau minum obat sebelum makan? Saya ini belum makan”,tanya korban. Namun kata petugas, di kunyah saja obatnya setelah tiba di rumah makan dulu baru minum obatnya. Mendengar penjelasan seperti itu, sebelum tiba di rumah, korban langsung mengunyah salah satu jenis obat yang dibagikan. Awalnya belum muncul gelaja. Beberapa saat kemudian, korban merasa kepala sakit dan pusing. Akhirnya korban tidur sampai malam hari.
(Foto: Obat anti kaki gajah)

Saat malam hari, korban mulai muntah-muntah hingga berujung pada muntah darah. Tubuh korban sangat lemas. Pada Kami, 19 Oktober 2017, sekita pukul 08.00 WP, korban di lakrikan ke RSUD Kabupaten Manokwari.

Ibu kandung Aprilia menjelaskan penyakit yang di alami korban kepada dokter di Rumah Sakit. Tindakan pertama yang di berikan adalah dokter memberikan obat lambung. Setelah itu di ambil darah untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hasilnya ada indikasi Malaria Tropika +1. Ibu korban sempat keheranan karena sebelum mendapat dan mengkonsumsi obat anti kaki gajah, almahrumah tidak ada tanda dan gejala yang merujuk pada malaria. Aprilia sehat.
Hingga malam hari, obat lambung yang di berikan tidak memberikan efek apa-apa. Korban tidak ada perubahan. Rasa mual dan muntah tidak berhenti. Ibu korban merasa panik, lalu menanyakan kembail soal hasil pemeriksaan darah karena pikirnya ada indikasi penyakit lain. Dokter mengatakan hanya Malaria Tropika +1.

Berdasarkan informasi dari ibu korban, Aprilia mengalami muntah sebanyak 13 kali di Rumah Sakit. Muntah darah. Selain itu bibir korban bengkak serta warna hitam. Bagian belakang perut korban terlihat bengkak warna hitam. Ketika di rabah seperti batu kerasnya.

Nyawa Aprilia akhirnya tidak tertolong. Ia menghembuskan nafas terakhir pada Jumat, 20 Oktober 2017 di Rumah Sakit kira-kira pukul 09.00 WP. Aprilia di duga overdosis/keracunan obat anti kaki gajah. Kedua kakak Aprilia juga menjadi korban keracunan obat namun masih sempat tertolong.

(Foto: Kedua kakak korban yang sempat tertolong)

Bagi seluruh rakyat Papua dimanapun berada, agar mewaspadai dan mengontrol anak-anak terutama yang duduk di bangku TK dan SD.

(Sumber: Zet Steven Tata)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

SUKSMA RATRI: HIV HARUS DI AJAK BERSAHABAT

SUKSMA RATRI: HIV HARUS DI AJAK BERSAHABAT



Human Imunodeficiency Virus ( HIV ) merupakan virus yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+ di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T, sementara Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) merupakan suatu kondisi (sindrom) imunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologik terntentu akibat infeksi HIV.

Sumber penularan infeksi HIV: kontak seksual (heteroseksual,homoseksual), lewat mukosa genital; Darah: produk darah (langsung menyebar hematogen), jaringan transplantasi jarum suntik, spuit ; vertikal dari ibu ke janin/bayi lewat infeksi intrapartum, perinatal, atau air susu ibu.

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Sering pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD4+ terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gelaja klinis pada AIDS berkisar antara 5-10 tahun.

Hingga kini ARV (antiretroviral) masih di percaya sebagai pilihan terapi HIV untuk menurunkan jumlah RNA virus (viral load) hingga tidak terdeteksi, mencegah komplikasi HIV, menurunkan transmisi HIV, serta menurunkan angka mortalitas. Pada prinsipnya, terapi ARV menggunakan kombinasi tiga obat sesuai rekomendasi dan kondisi pasien, memastikan kepatuhan minum obat pasien, dan menjaga kesinambungan ketersediaan ARV.

Menurut aktivis Solidaridad Network Indonesia, Suksma Ratri, HIV harus di ajak bersahabat. “HIV itu nggak di lawan, percuma. Di ajak bersahabat aja, nggak di musuhi”. Bagaimana bersahabat dengan HIV sendiri? Perempuan yang telah mengidap HIV ini selama 11 tahun mengatakan bahwa yang penting jaga kesehatan serta kurangi stres. ”Jaga kesehatan, kurangi stres. Pola hidup sehat dan hidup di bawah perasaan bahagia. Jika sudah tiba waktunya minum obat, lakukan dengan tertib, jangan di anggap beban”.kata perempuan yang aktiv dalam organisasi yang bergerak pada bidang pemberdayaan petani via messenger.

Perempuan dengan nama facebook Ratri Srikandhi ini, hingga kini melakukan aktivitas seperti manusia sehat lainnya yang tidak terinfeksi HIV. Suksma Ratri saat kali pertama di diagnosa positif HIV tepatnya pada Mei 2006. Ratri cukup dini terdeteksinya. “Biasanya mereka yang meninggal cepat itu karena terlambat tes HIV-nya. Sementara aku terbilang cukup dini terdeteksinya,”tuturnya.

Ratri mengisahkan, dirinya memutuskan untuk segera menjalani tes bersama putirnya setelah mendapat saran dari mantan suaminya. Seperti dalam banyak kasus pengidap HIV/AIDS, dia memperoleh virus mematikan tersebut dari pasangannya. Mantan suaminya adalah pengguna narkoba suntik. Keterbukaan soal masa lalu yang kelam itu membuat Ratri percaya bahwa pria tersebut sudah berubah.

Akhir 2007 Ratri berimigrasi ke Malaysia untuk bekerja di Coordination of Action Research on Aids and Mobility (CARAM Asia), LSM regional yang juga concern terhadap masalah HAM dan kesehatan, termasuk HIV/IAIDS. Disana Ratri meng-handle para buruh migran yang juga pengidap HIV/IADS.

Berkat kiprahnya yang aktiv dalam sosialisasi HIV/IADS, Perempuan yang juga mendukung self determination bagi West Papua ini, bahkan menjadi pembicara pembuka Sidang Istimewa PBB 2008 yang membahas tema HIV/AIDS. Ia terpilih dari ratusan peserta terutama dari negara-negara Afrika sebab latar belakang nya mengidap HIV dari mantan suaminya serta kuatnya perempuan ini menjalani hidup nya seperti manusia normal lainnya.

Bagaimana dengan HIV/AIDS di Papua?

Pengalaman Ratri membawa kita pada satu pelajaran sangat berharga. HIV tidak ada obatnya adalah mitos belaka. Ratri bukti jika HIV dapat di obati dengan mengurangi replikasi virus HIV agar tidak perbanyak diri serta meminimalisir infeksi oportunistik.

Data terbaru Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, menyebutkan jumlah kasus HIV/AIDS per Juni 2017 menembus angka 28.771 kasus, di mana Kabupaten Nabire tercatat terbanyak kasus HIV/AIDS yakni 5.923 kasus. Angka ini menjadi momok menakutkan bagi semua Orang Asli Papua. Terlintas dalam benak kita, jika mereka yang terinfeksi HIV/AIDS di ambang kematian. Sangatlah keliru pemikiran ini. HIV janganlah di anggap sebagai musuh atau pun pembunuh walau telah ada di sekitar kita.

Solusi mengurangi jumlah kasus HIV/AIDS di Papua adalah di berlakukannya tes HIV wajib bagi seluruh Orang Asli Papua. Alangkah baiknya terdeteksi lebih dini positif HIV sebelum mencapai Stadium IV. Virus HIV sangat kecil ukuran nya dan tak dapat di lihat secara kasat mata serta beredar dalam darah, maka saling menyalahkan di antara kita sudah sangat terlambat. Tidak ada yang dapat melihat virus secara langsung dengan mata telanjang. Ketika HIV terdekteksi dalam tubuh seseorang, maka orang tersebut segera di lakukan konseling serta terapi ARV. Terapi ARV berguna demi mengurangi replikasi virus agar virus tidak perbanyak diri. Tentu virus di minimalisir secara perlahan walaupun tidak mati dengan terapi ARV. Langkah ini penting demi tidak menyebarnya virus ke oranglain.

Sosialisasi HIV/AIDS telah di lakuakn di berbagai tempat namun tak mengurangi jumlah kasus di Papua. Apakah kita harus memaksakan setiap orang untuk menjaga perilaku? Tak mungkin. Setiap manusia berbeda dan kelakuan manusia terbentuk ketika melihat sesuatu di depan matanya.

Pengidap HIV kadang meninggal lebih cepat akibat terlambatnya tes HIV di saat pasien telah mencapai Stadium IV. Penutupan lokalisasi serta penyisiran PSK di Papua adalah salah satu langkah strategis namun virus HIV telah menyebar di berbagai kota dan kabupaten di Tanah Papua.

Langkah strategis yang harus di perhatikan hanyalah konseling dan Tes HIV lebih dini. HIV bukan musuh, HIV bukan pembunuh, HIV ada obatnya. Belajarlah dari Ratri yang hingga kini telah hidup dengan HIV selama 11 tahun karena HIV terdeteksi lebih dini dalam tubuhnya.

(Wawancara dengan Ratri di lakukan via messenger serta diambil dari beberapa artikel yang menulis tentang Ratri)
Foto: di ambil dari akun facebook Ratri atas nama Ratri Srikandhi
Penulis: Guntur

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1