MALANG-Intervensi militer kembali di lakukan oleh pihak keamanan dalam hal ini Koramil dan Polsek Batu Malang dalam kegiatan Makrab Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (IPMAPA) Malang 2017. Kegiatan yang berlangsung seminggu ini di datangi aparat dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal untuk berusaha memantau serta mengintervensi.
Berikut kronologi yang diterima dari Yustus, salah satu senior IPMAPA Malang, via email.
Briefing perdana bagi peserta kegiatan makrab di lakukan pada tanggal, 30 Oktober 2017, bertempat di Taman Merjosari, sekitar pukul 16.00-20.00 WIB. Kegiatan ini di hadiri oleh beberapa senioritas, ketua-ketua paguyuban dan panitia pelaksana (anggota Ipmapa 2016). Dalam kesempatan itu, Ketua Paguyuban Jayapura menyampaikan bahwa ada tawaran dari Koramil Batu bahwa ingin menyampaikan kata sambutan dalam kegiatan yang akan di laksanakan, namun panitia menyampaikan bahwa akan di konfirmasi karena harus di ketahui dan di sepakati bersama oleh kawan-kawan Mahasiswa Papua di Malang.
Pada hari Rabu, 1 November 2017, kami kembali mengadakan briefing kedua, di laksanakan pukul 16.00-20.00 WIB, bertempat di Taman Mejosari. Dalam kesempatan ini kami menyampaikan bahwa tidak memberikan kesempatan kepada Komandan Koramil Batu dengan alasan ini adalah kegiatan kemahasiswaan dan bukan kegiatan militer sehingga tidak mengijinkan untuk penyampaian kata sambutan.
Jumat, 3 November 2017, sekitar pukul 17.35 WIB, pemilik villa menyampaikan bahwa pihak kepolisian hendak menelepon dan menanyakan surat ijin keramaian, sehingga pemilik villa menemui kami dan meminta surat ijin. Kami menyampaikan bahwa hanya melakukan aktifitas di sekitar vills dan tidak mengganggu warga di sekitar. Pihak kepolisian tetap ngotot meminta surat ijin sehingga kami memutuskan untuk membuat surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian sektor batu. Sementara dalam mengetik surat, pemilik villa datang menemui kami untuk kesekian kalinya dan menyampaikan bahwa pihak kepolisian terus memaksa dirinya sehingga mereka meminta screen shot surat pemberitahuan lalu di kirimkan via media sosial (WhatApps).
Pada hari yang sama, pukul 19.00, kami di datangi oleh Komandan Koramil dan ajudannya. Mereka menerobos masuk dan hendak menuju aula yang saat itu sedang berlangsung seminar dengan tema pergaulan bebas, HIV dan Ancaman Terhadap OAP. Ada bebrapa pertanyaan yang di ajukan oleh Danramil kepada kami, kegiatan ini di laksanakan oleh siapa dan dari mana? Jumlah peserta ada berapa? Saya boleh berikan nasihat dan sambutan? Setelah itu Danramil menemui salah satu anggota senior IPMAPA untuk berdiskusi dan meminta agar kegiatan mahasiwa tidak boleh di intervensi militer, karena akan mengganggu psikologi peserta kegiatan.
Tindakan arogansi militer ini sangat tidak etis karena datang tanpa di undang dengan hormat. Ajudan danramil memotret aktivitas mahasiswa Papua di villa. Sempat terjadi adu mulut antara Danramil dan panitia. Danramil pun turun ke depan teras villa sementara ajudannya bertahan di aula dan terus memotret mahasiswa Papua.
Keesokan harinya, Sabtu, 4 November 2017, sekitar pukul 07.00 WIB, kami di datangi oleh pemilik villa dan mengatakan bahwa kepolisian meminta surat pemberitahuan kegiatan. Akhirnya salah satu senior IPMAPA, Yohanes Giyai dan Ketua Panitia pelaksana Fiatus Pigai, segera mengantarkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian. Sekitar pukul 09.00 kami menemui Kasat Intelkan Kota Batu. Dalam keadaan emosional dan nada yang tinggi, bebrapa hal di tanyakan oleh pihak intelkam kota batu. Tujuan kegiatan ini apa? Berapa lama kegiatan ini akan di laksanakan? Kenapa tidak masukan surat 1 minggu sebelumnya? Berapa banyak peserta? Kamu tahu baju bendera bintang kejora yang saya amankan pada saat kegiatan sepakbola di Stadion Brantas (Liga Cenderawasih 2015)? Saya berencana mau bubarkan paksa kegiatan anda karena tidak ada ijin?
Pada hari terakhir kegiatan, Minggu, 5 November 2017, sekitar pukul 13.30, saat kegiatan telah usai dan panitia hendak bubar, kami di datangi oleh dua orang polisi menggunakan mobil polisi bak kosong warna hitam. Setelah dua menit datanglah mobil sabhara yang memuat empat polisi berpakaian dinas. Saat bergegas sekitar 50 m dari villa, kami berpapasan dengan Kapolsek dan dia minta untuk berbicara sebentar.
Dalam diskusi tersebut, Kapolsek mengatakan bahwa ada isu Komunitas Pecinta Alam yang membawakan simbol-simbol mencurigakan dan melakukan napak tilas di sekitar gunung panderman. Dalam penjelasan singkat salah satu senior IPMAPA Yohanes Giyai, tidak ada hubungan apa-apa dengan kegiatan napak tilas yang meresahkan warga serta kami juga tidak tahu simbol-simbol yang di sebutkan kapolsek. Untuk apa Kapolsek meminta nama peserta sedetalil mungkin? Soal gambaran kegiatan IPMAPA sudah di sampaikan kemarin kepada pihak kepolisian dalam proposal. Kami disini adalah mahasiswa dan banyak mengikuti kegiatan kampus. Tidak pernah ada intervensi seperti ini. Pada jam 14.45, kami pun meninggalakn mereka dan pulang kembali ke Malang bersama kawan-kawan mahasiswa Papua lainnya.
Yustus membeberkan bahwa tindakan intervensi dan represif militer ini di lihatnya dari dua sudut pandang. “Saya melihat tindakan aparat keamanan ini dari dua sudut pandang. Pertama, aparat menunjukan watak dari Indonesia dengan menekan psikologis mahasiswa Papua guna membunuh karakter generasi muda yang sedang di bina melalui kegiatan Makrap. Kedua, aparat mencoba membangun pobia negatif masyarakat Malang dan Batu terhadap kegiatan-kegaiatan mahasiswa Papua.”tutur Yustus yang juga adalah Sekjen AMP Malang via messenger.
Yustus juga menambahkan jika pobia negatif ini sengaja di ciptakan oleh aparat keamanan. “Kami menyimpulkan bahwa Papua pobia adalah sengaja di ciptakan oleh negara untuk mengisolasi mahasiswa Papua dari lingkungan masyarakat Malang dan Batu agar tidak memiliki kesempatan untuk dapat berdiskusi di forum-forum terbuka.baik bersifat formal maupun informal.”tambah Yustus.
Sementara itu Ketua Panitia Makrab IPMAPPA yang di hubungi via WhatApps mengatakan akan memberikan tanggapan nya namun sejauh ini belum ada balasan.
Fonataba.A.Gu
0 komentar:
Posting Komentar