SUKSMA RATRI: HIV HARUS DI AJAK BERSAHABAT
Human Imunodeficiency Virus ( HIV ) merupakan virus yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+ di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T, sementara Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) merupakan suatu kondisi (sindrom) imunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologik terntentu akibat infeksi HIV.
Sumber penularan infeksi HIV: kontak seksual (heteroseksual,homoseksual), lewat mukosa genital; Darah: produk darah (langsung menyebar hematogen), jaringan transplantasi jarum suntik, spuit ; vertikal dari ibu ke janin/bayi lewat infeksi intrapartum, perinatal, atau air susu ibu.
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Sering pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD4+ terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gelaja klinis pada AIDS berkisar antara 5-10 tahun.
Hingga kini ARV (antiretroviral) masih di percaya sebagai pilihan terapi HIV untuk menurunkan jumlah RNA virus (viral load) hingga tidak terdeteksi, mencegah komplikasi HIV, menurunkan transmisi HIV, serta menurunkan angka mortalitas. Pada prinsipnya, terapi ARV menggunakan kombinasi tiga obat sesuai rekomendasi dan kondisi pasien, memastikan kepatuhan minum obat pasien, dan menjaga kesinambungan ketersediaan ARV.
Menurut aktivis Solidaridad Network Indonesia, Suksma Ratri, HIV harus di ajak bersahabat. “HIV itu nggak di lawan, percuma. Di ajak bersahabat aja, nggak di musuhi”. Bagaimana bersahabat dengan HIV sendiri? Perempuan yang telah mengidap HIV ini selama 11 tahun mengatakan bahwa yang penting jaga kesehatan serta kurangi stres. ”Jaga kesehatan, kurangi stres. Pola hidup sehat dan hidup di bawah perasaan bahagia. Jika sudah tiba waktunya minum obat, lakukan dengan tertib, jangan di anggap beban”.kata perempuan yang aktiv dalam organisasi yang bergerak pada bidang pemberdayaan petani via messenger.
Perempuan dengan nama facebook Ratri Srikandhi ini, hingga kini melakukan aktivitas seperti manusia sehat lainnya yang tidak terinfeksi HIV. Suksma Ratri saat kali pertama di diagnosa positif HIV tepatnya pada Mei 2006. Ratri cukup dini terdeteksinya. “Biasanya mereka yang meninggal cepat itu karena terlambat tes HIV-nya. Sementara aku terbilang cukup dini terdeteksinya,”tuturnya.
Ratri mengisahkan, dirinya memutuskan untuk segera menjalani tes bersama putirnya setelah mendapat saran dari mantan suaminya. Seperti dalam banyak kasus pengidap HIV/AIDS, dia memperoleh virus mematikan tersebut dari pasangannya. Mantan suaminya adalah pengguna narkoba suntik. Keterbukaan soal masa lalu yang kelam itu membuat Ratri percaya bahwa pria tersebut sudah berubah.
Akhir 2007 Ratri berimigrasi ke Malaysia untuk bekerja di Coordination of Action Research on Aids and Mobility (CARAM Asia), LSM regional yang juga concern terhadap masalah HAM dan kesehatan, termasuk HIV/IAIDS. Disana Ratri meng-handle para buruh migran yang juga pengidap HIV/IADS.
Berkat kiprahnya yang aktiv dalam sosialisasi HIV/IADS, Perempuan yang juga mendukung self determination bagi West Papua ini, bahkan menjadi pembicara pembuka Sidang Istimewa PBB 2008 yang membahas tema HIV/AIDS. Ia terpilih dari ratusan peserta terutama dari negara-negara Afrika sebab latar belakang nya mengidap HIV dari mantan suaminya serta kuatnya perempuan ini menjalani hidup nya seperti manusia normal lainnya.
Bagaimana dengan HIV/AIDS di Papua?
Pengalaman Ratri membawa kita pada satu pelajaran sangat berharga. HIV tidak ada obatnya adalah mitos belaka. Ratri bukti jika HIV dapat di obati dengan mengurangi replikasi virus HIV agar tidak perbanyak diri serta meminimalisir infeksi oportunistik.
Data terbaru Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, menyebutkan jumlah kasus HIV/AIDS per Juni 2017 menembus angka 28.771 kasus, di mana Kabupaten Nabire tercatat terbanyak kasus HIV/AIDS yakni 5.923 kasus. Angka ini menjadi momok menakutkan bagi semua Orang Asli Papua. Terlintas dalam benak kita, jika mereka yang terinfeksi HIV/AIDS di ambang kematian. Sangatlah keliru pemikiran ini. HIV janganlah di anggap sebagai musuh atau pun pembunuh walau telah ada di sekitar kita.
Solusi mengurangi jumlah kasus HIV/AIDS di Papua adalah di berlakukannya tes HIV wajib bagi seluruh Orang Asli Papua. Alangkah baiknya terdeteksi lebih dini positif HIV sebelum mencapai Stadium IV. Virus HIV sangat kecil ukuran nya dan tak dapat di lihat secara kasat mata serta beredar dalam darah, maka saling menyalahkan di antara kita sudah sangat terlambat. Tidak ada yang dapat melihat virus secara langsung dengan mata telanjang. Ketika HIV terdekteksi dalam tubuh seseorang, maka orang tersebut segera di lakukan konseling serta terapi ARV. Terapi ARV berguna demi mengurangi replikasi virus agar virus tidak perbanyak diri. Tentu virus di minimalisir secara perlahan walaupun tidak mati dengan terapi ARV. Langkah ini penting demi tidak menyebarnya virus ke oranglain.
Sosialisasi HIV/AIDS telah di lakuakn di berbagai tempat namun tak mengurangi jumlah kasus di Papua. Apakah kita harus memaksakan setiap orang untuk menjaga perilaku? Tak mungkin. Setiap manusia berbeda dan kelakuan manusia terbentuk ketika melihat sesuatu di depan matanya.
Pengidap HIV kadang meninggal lebih cepat akibat terlambatnya tes HIV di saat pasien telah mencapai Stadium IV. Penutupan lokalisasi serta penyisiran PSK di Papua adalah salah satu langkah strategis namun virus HIV telah menyebar di berbagai kota dan kabupaten di Tanah Papua.
Langkah strategis yang harus di perhatikan hanyalah konseling dan Tes HIV lebih dini. HIV bukan musuh, HIV bukan pembunuh, HIV ada obatnya. Belajarlah dari Ratri yang hingga kini telah hidup dengan HIV selama 11 tahun karena HIV terdeteksi lebih dini dalam tubuhnya.
(Wawancara dengan Ratri di lakukan via messenger serta diambil dari beberapa artikel yang menulis tentang Ratri)
Foto: di ambil dari akun facebook Ratri atas nama Ratri Srikandhi
Penulis: Guntur